Jumat, 24 Februari 2012

PUISI BALADA


PERJALANAN  PENCARI KEADILAN

Sinar kemerahan diufuk timur merapat
Menyapu lembut titik-titik embun temaram
Kicau burung-burung kecil manyapa riang
Kecipak air anak sungai bengawan bersahutan
Desir irama pohon bambu berdendang

Pagi telah beranjak dari selimut malam
Menjemput sang dewi rembulan berpulang
Cahaya biru keabu-abuan merangkak tenang
Senyum langit merekah tanpa kata
Mengurai  satu lagi kehidupan baru

Udara dingin sisa semalam masih membayang
Bunga tidur yang indah pun terkenang
Entah ada…………………….entah tiada
Entah nyata…………………entah fatamorgana
Semua  melaju dengan ringannya

Seperti halnya hidup di dunia ini
Terkadang segalanya tampak indah
Namun tak jarang penuh nestapa
Ketika tiba-tiba ada dua ruas jalan
Mungkin memaksa kita untuk diam sejenak

Diam bukan berarti membisu
Diam tidak sama dengan tidak berbuat sesuatu
Diam hanya perlu menunggu waktu
Waktu untuk bangkit dan malangkah
Waktu untuk menentukan arah yang tepat

Mentari telah berada tepat diubun-ubun
Ketika seorang lelaki berbadan tegap  melintas
Langkahnya tegap menyusuri jalan beraspal
Tangan kanannya menggenggam erat sebuah gulungan tebal
Tangan kirinya berayun penuh wibawa



Tepat didepan sebuah gedung gagah bertingkat
Lelaki itu terdiam sejenak
Langkahnya terhenti
Namun bola matanya menari-nari
Mencari sesuatu yang sangat diminati

teriakan lautan manusia tenang tanpa kata
Semua mulut menganga tak bersuara
Pandangan mata mereka hanya satu arah
Nafas tertahan mulai mendesak- desak
Menunggu satu kata saja untuk bergerak

Lelaki itu mulai melangkah lagi
Setapak demi setapak
Menyusuri rerumputan hijau di sebuah tanah lapang
Membelah kerumunan manusia yang masih penasaran
Sepertinya waktunya telah tiba



Lelaki itu mulai berkata-kata
Kalimat lantang mengalir dengan deras
Membangkitkan semangat yang hampir padam
Membangun rasa percaya diri yang terkekang
Membakar citi-cita untuk sebuah  keadilan

Disana sini orang-orang mulai mendesah
Mencoba Bangkit dari keterpurukan
Maraih kembali semangat yang sempat padam
Meski tiada jalan yang membentang
Terus melangkah bila perlu berlari

Keadilan di negri ini harus dipenuhi
Hapus air mata dengan sapu tangan kebenaran
Seka debu-debu hitam dengan kain peri kemanusiaan
Keadilan di negri ini harus berdiri tegak
Setegak tugu monas yang bertahta emas

Karawang.  Maret 2011
By  fie adrianus

GADIS PENJUAL KORAN

Di sebuah jalanan kumuh tak jauh dari jembatan tua
Seorang gadis kecil melangkah meninggalkan sebuah peraduan
Mengenakan busana kemiskinan dan derita
Kaki yang tak beralas tak jua lelah
Menjajakan Koran di sepanjang jalan penuh semangat

Waktu telah dilewatinya tanpa mengeluh
Peluh yang mengucur deras tak hendak terhapus
Terus mengais nafkah tanpa batas
Meski hanya cukup untuk sebutir  beras
Sekedar untuk sekali makan saja

Mentari  yang terik bersinar tak kan jadi penghalang
Deru mobil-mobil jalang tak kan dihiraukan
Cemooh dan celaan adalah makanan ringan
Caci maki dan bahkan pukulan adalah air segar pelapas dahaga
Kaki kecil tak beralas itu terus berburu


Koran………….koran……………….
Koran pak……………Koran bu……………
Beli  Koran saya pak, agar saya dapat makan
Beli Koran saya bu, agar saya dapat beli sabun
Koran…………koran……………

Hanya lirik lagu itu yang selalu menggema
Setiap detik setiap menit sepanjang waktu
Gadis penjual Koran itu tak pernah bosan
Nada-nada itu tak memilukannya
Iramanya tetap meski kadang terdengar serak

Bila sinar kemerahan di ufuk barat mulai merayap
Menimpa trotoar jalan dan gagang jembatan
Debu panas mengembang perlahan
Setapak demi setapak menuju sirna
Gelap malam mulai merangkak perlahan

Ketika lampu jalanan satu per satu menyala
Gadis penjual Koran tetap berdiam diri
Sekedar menghela nafas dan menunggu berkah
Siapa tahu ada tangan-tangan sang dermawan
Yang mungkin ingin membuang koin recehan

Namun senja itu berbeda dengan senja-senja sebelumnya
Gelap malam telah hampir lengkap
Debu keabu-abuan mulai tak tampak
Lampu-lampu jalanan telah jadi benderang
Tak satu dermawanpun yang kunjung tiba


Gadis penjual Koran itu tetap bertahan
Seolah tahu akan datangnya karunia
Dalam diam dan kebisuan yang tenang
Dalam lapar dan dahaga yang mulai meronta
Di iringi angin malam yang menerpa

Gadis penjual Koran itu tetap bertahan
Tangannya mencengkeram sisa Koran yang tak terjual
Kakinya terlipat rapat menutup separo badanya
Kepalanya tersembunyi diantara kedua lututnya
Badannya kaku tak bergerak




Tepat di sisi jembatan menuju jalan setapak
Gadis penjual Koran itu ditemukan dalam selimut duka
Tiada derai air mata menghantarnya
Tiada isak tangis pertanda bela sungkawa
Dan bahkan tiada deretan doa-doa

Kisah gadis penjual Koran memang tinggal cerita
Cerita seorang anak manusia tanpa jasa
Tak kenal orang tua dan sanak saudara
Tak pernah mengerti  arti sebuah kasih sayang
Bahkan tak sekalipun menemukan belaian

Karawang.  Maret 2011
By  fie adrianus






BENCANA  DI BUMI PERTIWI

Masih adakah waktu untukku
Sekedar mengucap salam selamat pagi
Masihkah tersisa masa untukku
Sekedar untuk bertegur sapa
Waktu dan masaku telah berlalu

Bila mungkin masih ada waktu sedikit saja
Aku ingin berkata tidak
Bila masih tersisa sebuah kesempatan
Aku  ingin menghalaunya
Namun aku tak punya kuasa apa-apa

Aku masih ingat betul
Ketika tiba-tiba tanah yang ku pijak bergoyang
Suara gemuruh bak bumi hendak meledak
Tiada satu katapun yang sempat ku ingat
Bahkan siapa namaku pun aku tak tahu

Merapi meronta……………..
Meluluh lantahkan apapun yang ada
Menyapu bersih apapun yang dilaluinya
Tanpa komunikasi dan kompromi
Merapi meraung dalam gelap dan sepi
Bencana………………….
Kembali Ibu pertiwi meratap
Papua, Mentawai, dan kini merapi
Tetes air mata ibu pertiwi menjadi tak berati
Ungkapan  maafpun menjadi bahasa yang  basi

Kepada siapa mesti aku mengadukan nasib ini
Batinku tertekan dalam derita berkepanjangan
Naluriku ingin berontak walau tiada daya
Tak kan ada bisa didengar lagi
Lagu pujian untuk ibu pertiwi

Barak pengungsian yang pengap menjadi tujuan
Tempat untuk sekedar menghela nafas panjang
Tiada hal yang dapat dilakukan
Selain menunggu uluran tangan penderma
Entah dengan rasa ihklas atau sekedar cari muka

Aku bahkan  mungkiin tak peduli
Bencana di bumi pertiwi ini adalah saksi
Saksi yang tak pernah terpikirkan
Bencana di bumi pertiwi ini adalah bukti
Bukti sebuah Keangkuhan yang tak terkendali


Bencana kali ini melukai ibu pertiwi
Berapa banyakkah nyawa-nyawa tak terkenali
Bahkan hartapun tak kan punya arti lagi
Bencana  kali ini membasahi ibu pertiwi
Air mata tak mungkin di bendung meski dalam mimpi


Mungkin kita perlu berbenah diri
Meninggalkan masa lalu dan berlari
Mungkin Ibu pertiwi  memang telah lelah berdiri
Mungkin kita harus berkaca kembali
Menemani Ibu pertiwi memoles negeri

Tiada hal yang tak mungkin terjadi
Bila sebuah keyakinan melapisi hati
Mengoyak segala kesombongan
Menepis ketidak pedulian
Menghalau kabut hitam yang mencengkeram

Jika memang ini adalah awal yang terbaik
Mungkin ibu pertiwi mampu tersenyum kembali
Melepaskan tali-tali yang mengekang
Merengkuh kenyamanan akan masa depan
Melangkah dalam tenang dan kedamaian

Karawang, maret 2011
By  fieadrianus



Tidak ada komentar:

Posting Komentar